• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

08 Juli 2025

63 kali dibaca

Antara Nyata dan Rekayasa

Di zaman ini, kita hidup dalam dunia yang nyaris tanpa batas antara yang nyata dan yang direkayasa karena manusia tidak lagi hanya hidup di satu dunia, melainkan melintas antara realitas fisik dan realitas digital. Gambar bisa dibuat seakan benar-benar terjadi. Kata-kata bisa disusun untuk menipu atau membangkitkan harapan palsu. Bahkan wajah pun bisa dipalsukan dengan kecanggihan teknologi yang memanipulasi gerak dan suara. Dunia telah menjadi ruang teater, di mana keaslian dipertanyakan, dan kepalsuan bisa dipoles menjadi tampak suci.

Namun apakah benar kita masih punya kemampuan untuk membedakan antara kenyataan dan rekayasa? Atau justru, kita diam-diam mulai menikmatinya, merasa aman dalam dunia yang dibuat-buat, sebab di sanalah kita bebas menjadi siapa saja, tanpa beban sejarah dan luka?

Manusia memang makhluk yang suka mencipta bahkan sejak dulu kala, kita telah membangun mitos, cerita, dan simbol-simbol rekayasa makna untuk menjelaskan yang tak terjelaskan. Tapi perbedaan zaman dahulu dan kini adalah dahulu, rekayasa dibuat untuk memahami kenyataan namun sekarang, ia dibuat untuk menggantikannya.

Di media sosial, kita sering menemukan diri kita membandingkan hidup dengan potongan cerita orang lain. Padahal yang kita lihat hanyalah versi terbaik yang sudah disunting, difilter, dan dikurasi dengan cermat. Dunia maya bukanlah kebohongan, tapi ia juga bukan kebenaran. Ia adalah separuh kenyataan, rekayasa yang terlalu rapi hingga menyamar jadi fakta.

Lebih dalam dari itu, kita perlu bertanya, apakah diri kita sendiri masih asli?. Atau apakah kita pun telah menjadi semacam "produk", yang dibentuk oleh ekspektasi orang lain, algoritma, dan keinginan untuk diakui? Sering kali, kita lebih peduli pada bagaimana kita dilihat, daripada siapa kita sebenarnya.

Namun, di tengah kekacauan antara yang nyata dan yang direkayasa, masih ada satu ruang sunyi yang tak bisa dipalsukan, ia adalah ruang batin. Ia tidak bisa dicitrakan. Ia tidak butuh filter. Ia hanya bisa disentuh melalui kejujuran terdalam pada diri sendiri. Di sanalah tempat kita kembali, untuk bertanya tanpa suara: "Apakah aku masih aku?".

Kita hidup di zaman di mana segala hal bisa dibuat, bahkan rasa cinta bisa direkayasa dengan kata manis dan ilusi kebersamaan. Tapi satu hal yang tetap tak bisa dipalsukan adalah luka. Ia datang sebagai bukti bahwa sesuatu pernah benar-benar terjadi karena ia adalah bagian dari kenyataan yang tak bisa ditutupi oleh citra.

Maka mungkin, dalam dunia yang serba bisa direkayasa ini, tugas kita bukan untuk melawan semua ilusi, tapi untuk tetap memelihara ruang-ruang keaslian dengan dalamnya pikiran, dalamnya perasaan, dan dalamnya tindakan kecil sehari-hari. Menyapa dengan tulus, mendengar tanpa motif. menyentuh tanpa pamrih karena yang membuat hidup bermakna bukanlah seberapa indah tampilannya, melainkan seberapa jujur ia dijalani.