Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) merupakan salah satu episode kelam dalam sejarah Indonesia yang terus dikenang dan diperdebatkan hingga kini. Tak hanya dalam konteks politik dan sejarah, peristiwa ini juga meninggalkan jejak yang dalam dalam seni dan budaya populer Indonesia. Film, buku, dan musik menjadi medium untuk menafsirkan, merefleksikan, dan mengkomunikasikan narasi yang kompleks dan penuh kontroversi tentang peristiwa ini.
Salah satu karya paling ikonik terkait peristiwa ini adalah film Pengkhianatan G30S/PKI yang dirilis pada tahun 1984. Disutradarai oleh Arifin C. Noer, film ini diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) atas perintah pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Film ini secara visual dan naratif menyajikan pandangan resmi pemerintah tentang peristiwa tersebut, yakni bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang utama di balik penculikan dan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat serta seorang perwira muda.
Film Pengkhianatan G30S/PKI memegang peranan penting dalam pembentukan opini publik tentang G30S. Sejak dirilis, film ini menjadi tontonan wajib di sekolah-sekolah dan ditayangkan secara nasional setiap tanggal 30 September di TVRI hingga akhir era Orde Baru pada tahun 1998. Dengan durasi hampir 4 jam, film ini menampilkan kekerasan, kebengisan, dan kekejaman PKI, serta mengukuhkan peran Soeharto sebagai penyelamat bangsa. Visualisasi peristiwa dalam film ini, terutama adegan penculikan dan pembunuhan jenderal, meninggalkan kesan mendalam bagi generasi yang tumbuh pada era tersebut.
Namun, pasca reformasi, narasi tunggal yang diusung film ini mulai dipertanyakan. Kritik terhadap film ini datang dari berbagai kalangan, baik akademisi, sejarawan, maupun sineas, yang menganggap film tersebut sebagai propaganda politik yang tidak sepenuhnya akurat. Sejumlah film dokumenter dan alternatif kemudian muncul untuk memberikan perspektif berbeda, seperti film The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014) karya Joshua Oppenheimer, yang lebih banyak mengeksplorasi dampak dari pembantaian massal yang terjadi setelah peristiwa G30S/PKI.
Selain dalam medium film, peristiwa G30S juga menjadi inspirasi bagi berbagai karya sastra, baik yang berbentuk dokumentasi sejarah maupun karya fiksi. Beberapa buku yang berfokus pada peristiwa ini menyoroti berbagai perspektif, baik dari sisi militer, masyarakat sipil, maupun korban kekerasan yang terjadi pasca peristiwa tersebut.
Buku Pretext for Mass Murder karya John Roosa, misalnya, berupaya membongkar narasi resmi yang diproduksi oleh pemerintah Orde Baru dan memberikan perspektif baru mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada malam 30 September 1965. Buku ini menantang klaim bahwa PKI secara mutlak bertanggung jawab, dan menawarkan analisis yang lebih kompleks terhadap dinamika politik yang melibatkan berbagai aktor, termasuk militer dan elit politik lainnya.
Sementara itu, novel-novel karya penulis Indonesia juga banyak yang mengangkat tema peristiwa 1965. Salah satu contohnya adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori yang menggambarkan kehidupan keluarga yang terpecah karena peristiwa G30S dan dampaknya pada generasi selanjutnya. Novel ini memberikan sudut pandang yang lebih personal dan emosional tentang bagaimana peristiwa ini mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, terutama mereka yang terpaksa melarikan diri ke luar negeri atau harus hidup dalam bayang-bayang stigma sebagai keturunan anggota PKI.
Di dunia musik, peristiwa G30S/PKI tidak sepopuler di film atau buku. Namun, ada sejumlah musisi yang menciptakan karya yang terinspirasi dari peristiwa ini. Salah satunya adalah **Iwan Fals**, yang dalam beberapa lagunya menyentuh tema ketidakadilan dan kekerasan yang terjadi di Indonesia, termasuk akibat dari konflik politik seperti G30S. Meski tidak secara langsung menyebut PKI, karya-karyanya sering kali menjadi refleksi sosial terhadap dampak politik Orde Baru.
Band Efek Rumah Kaca, dalam lagu mereka yang berjudul Di Udara, juga mengangkat tema seputar represi politik dan pembungkaman terhadap suara-suara yang berbeda di era Orde Baru, termasuk yang berkaitan dengan narasi sejarah resmi seperti G30S. Lagu ini, meski tidak eksplisit membahas PKI, sering dihubungkan dengan tema kebebasan berpendapat dan bagaimana sejarah bisa digunakan untuk menindas kelompok tertentu.
Penggambaran peristiwa G30S/PKI dalam film, buku, dan musik memiliki dampak yang signifikan terhadap pemahaman masyarakat Indonesia tentang sejarah tersebut. Selama lebih dari tiga dekade, masyarakat Indonesia disuguhi narasi tunggal melalui film Pengkhianatan G30S/PKI yang memperkuat stereotip negatif terhadap PKI dan anggotanya. Bagi banyak orang yang tumbuh pada masa itu, film ini menjadi satu-satunya referensi visual dan naratif tentang peristiwa tersebut.
Namun, setelah reformasi dan kebebasan informasi yang lebih terbuka, masyarakat mulai memiliki akses ke berbagai sumber alternatif yang memberikan sudut pandang lain tentang G30S/PKI. Buku-buku sejarah, film dokumenter, dan karya sastra kontemporer mulai menawarkan interpretasi yang lebih kaya dan beragam, sehingga publik dapat memahami peristiwa ini dari perspektif yang lebih luas.
Meskipun demikian, jejak kuat film Pengkhianatan G30S/PKI masih terasa hingga kini, terutama ketika perdebatan mengenai pemutaran ulang film ini setiap tahun mencuat. Bagi sebagian orang, film ini adalah alat pendidikan sejarah, sementara bagi yang lain, ini adalah bentuk propaganda yang seharusnya tidak lagi dipakai.
Peristiwa G30S/PKI dalam seni dan budaya populer mencerminkan bagaimana sejarah dapat digunakan sebagai alat politik, tetapi juga bagaimana seni bisa menjadi medium refleksi kritis terhadap narasi resmi. Film, buku, dan musik berperan penting dalam membentuk dan mengubah persepsi masyarakat tentang peristiwa ini. Dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, narasi tentang G30S tidak lagi tunggal, melainkan semakin plural dan kompleks, seiring dengan munculnya karya-karya baru yang berani menantang perspektif lama.