Hoax dan demagogi masih menjadi permasalahan yang terjadi sepanjang pelaksanaan Pilkada 2020 kemarin. Permasalahan yang membuat masyarakat menjadi terpecah belah, membentuk kubu-kubu yang berseberangan dan saling serang opini secara brutal dan kasar.Pilkada yang seharusnya menjadi menjadi ajang pendewasaan masyarakat dalam berdemokrasi melalui dialektika yang sehat dan berisi, bisa berubah menjadi sarana saling provokasi dan caci maki.
Secara umum, arti hoax adalah kabar, informasi, berita palsu atau bohong. Jika kita merujuk kepada KBBI disebutkan bahwa arti hoax adalah berita bohong. Hoax merupakan informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya. Dengan kata lain, arti hoax juga bisa didefinisikan sebagai upaya pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang seolah-olah meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
Demikian pula dengan demagogi, yaitu penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata dusta untuk membangkitkan emosi publik. Demagogi berasal dari bahasa Yunani, Demos artinya rakyat. Sedangkan Agogos adalah pemimpin, namun makna pemimpin di sini lebih mengarah ke penghasut. Sehingga, demagog berarti pemimpin yang pandai menghasut dengan cara membakar naluri massa untuk meraih tujuan tertentu. Dengan kondisi massa yang tak menentu seperti Pilkada, maka seorang demagog akan sangat piawai mengarahkan massa agar berpihak padany dengan memanfaatkan ketidaktahuan rakyat.
Berita-berita palsu bahkan sudah mendelegitimasi peran jurnalisme media-media arus utama (mainstream). Situasi ini biasanya terjadi ketika media mainstream menyampaikan berita yang tidak sesuai dengan fakta kejadian dan disampaikan secara berulang, maka pembaca akan mencari alternatif lain informasi yang benar sesuai dengan fakta yang diinginkannya. Pembaca butuh alternatif untuk mendapatkan informasi.
Seorang demagog (pelaku demagogi) akan selalu mencari kambing hitam atas segala masalah, sehingga kebencian terhadap suatu kelompok tertentu ditumbuhkan, dipelihara bahkan diperdahsyat identitasnya. Argumen yang dimainkannya sering ad hominem (penyerangan personal) dan penuh kebencian. Ia pandai memainkan wacana kebencian kepada kelompok-kelompok tertentu dengan lihai membuat skematisasi melalui penyederhanaan gagasan/ pemikiran agar bisa memiliki efektivitas sosial sehingga menjadi sebuah opini dan keyakinan.
Dengan distrupsi dari media sosial menjadi alternatif mereka dalam mendapatkan informasi sesuai dengan kebutuhan mereka. Padahal media massa dalam kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat modern telah memainkan peranan yang begitu penting. Penulis mengamati hal ini, peran tersebut perlahan-lahan mulai diambil oleh media sosial. Indonesia termasuk negara yang tingkat penggunaan media sosial terbesar di dunia. Hingga Januari 2021, Indonesia memiliki pengguna internet sebanyak 202,6 juta jiwa. Mengutip data dari Data Reportal, jumlah tersebut meningkat sebanyak 27 juta atau 16 persen dibandingkan tahun sebelumnya.(sumber : beritasatu.com, 15 Februari 2021). Pesatnya pertumbuhan media sosial, justru menjadi akar masalah dari persoalan-persoalan yang terjadi akhir-akhir ini.
Melalui media sosial banyak kalangan yang menyalahgunakannya dengan menebar hoax dan demagogi yang berisikan kebencian, hujatan, hasutan, serta paham radikal. Terutama pada saat-saat penyelenggaraan pesta demokrasi secara langsung oleh masyarakat seperti Pemilu Kepala Daerah, Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif. Kita tentu masih ingat dengan kontestasi Pilkada Pesisir Selatan yang sangat keras oleh para pendukung kontestan Pilkada.
Namun menjadi persoalan, ketika media sosial yang menjadi simbol kebebasan masyarakat. Pada media sosial kita dapat menjumpai akun-akun yang menebar kebencian atas nama kelompok, golongan, agama, dan perorangan yang beredar luas di media sosial. Demagogi menjadi salah satu strategi untuk meraih simpati. Sebuah strategi yang menjadi senjata makan tuan bagi persatuan negeri ini. Hujatan dan hasutan disampaikan sangat mudah sekali memengaruhi para warganet. Ada yang menanggapi dengan sikap positif, namun tak sedikit yang ikut terpancing dan bersikap negatif. Masalah yang ada di media sosial justru ikut terbawa hingga ke dalam kehidupan masyarakat seperti pengancaman, pemboikotan bahkan sampai dengan tindakan persekusi.
Di media sosial pun gejala hoax dan black campaign juga masih ada. Salah satunya yang kentara adalah pada sebuah group Facebook bernama “Pessel Peduli”. Penulis mengamati masih ada akun-akun yang terlihat tendensius yang berupaya menciptakan suasana yang tidak kondusif di masyarakat. Group ini “seakan-akan” menjadi rujukan masyarakat (khususnya warganet Pesisir Selatan) mencari informasi terkini. Penulis melihat fenomena ini sebagai suatu kelatahan, meniru apa yang terjadi di pada kontestasi Pemilihan Presiden tahun 2019 yang lalu. Situasi ini sengaja dibuat dengan tujuan membuat kegaduhan dalam masyarakat, mengabaikan norma yang ada di masyarakat Minangkabau. Fenomena ini bagaikan sebuah kerikil kecil yang berada dalam sepatu demokrasi kita. Yang pada awalnya tidak begitu mengganggu namun jika diabaikan akan menjadi pengganggu langkah kita menuju demokrasi yang beretika dan bermartabat.
Pertanyaannya, apakah fenomena ini akan tetap kita pertahankan hingga saat ini? Pilkada sudah usai, sudah saatnya kita kembali merajut kembali perbedaan-perbedaan tersebut dengan semangat persatuan membangun negeri. Hal ini harus jadi perhatian bagi kita semua. Adalah tugas kita bersama menjadikan media-media ini dapat menciptakan suasana sejuk dan nyaman. Bagaimana caranya?
Sebagai pemerhati dunia komunikasi, penulis menawarkan beberapa solusi yang dapat dilakukan secara bersama-sama. Diantaranya, warganet pun harus meliterasi dirinya dengan informasi-infromasi yang benar. Diantaranya dengan cara cermat dengan judul-judul berita yang provokatif, alamat situs, foto atau gambar,belajar memahami antara fakta dan opini serta dapat mengikuti forum-forum anti hoax. Ciptakan relasi baru antara media dan pembaca, media harus mulai membangun kembali kepercayaan pembaca yang selama ini telah berjarak. Pemerintah Daerah sebagai sumber informasi yang dapat dipercayai oleh masyarakat dengan menyajikan informasi melalui konten-konten positif, edukatif, dan inspiratif. Jika jurnalisme ingin kembali mengambil peran, media-media harus fokus pada substansi persoalan yang ada, bukan semata pada omongan-omongan akrobat para politisi dan harus mampu menjebol bilik gema. Dalam konteks media sosial, bilik gema adalah kondisi ketika warganet hanya mau membaca pendapat dan informasi yang sama dengan yang diyakininya.
Kita semua memiliki peranan penting dalam menciptakan kembali iklim yang kondusif di masyarakat. Konstestasi kemarin memang cukup keras dan berenergi besar. Namun jika ingin menciptakan kerukunan di Pesisir Selatan, maka sudah saatnya kita menyalurkan energi itu ke hal-hal positif dengan bersama-sama membangun Pesisir Selatan yang kita cintai ini. Masih banyak tantangan harus menjadi perhatian bersama, seperti pandemi Covid-19 yang belum berkesudahan melanda negeri yang kita cintai ini. Mari rajut kembali kebersamaan itu. Pesisir Selatan tidak layak dirusak oleh kerikil-kerikil kecil yang bernama hoax dan demagogi.