Bagian 4: Sumbang Perkataan dan Sumbang Penglihatan
Oleh: Suci Mawadah Warahmah, S.Sos
Dalam setiap helaan napas kebudayaan, terkandung nilai-nilai luhur yang membentuk adab dan martabat suatu kaum. Di Ranah Minang, panduan hidup itu terangkum dalam “Sumbang Duo Baleh” sebuah simpul kearifan yang telah membingkai kehidupan perempuan Minangkabau dari masa ke masa. Ia bukan sekadar daftar larangan, melainkan peta moral dan spiritual, penuntun sikap lahir dan batin demi terjaganya harga diri dan keseimbangan dalam tatanan sosial.
Setelah menelusuri makna dalam “Sumbang Diam” dan “Sumbang Bajalan,” kini kita memasuki ruang yang lebih halus namun sangat menentukan “Sumbang Perkataan dan Sumbang Penglihatan”. Keduanya merupakan benteng utama yang menjaga citra perempuan Minangkabau agar tetap teduh dalam wibawa, indah dalam akhlak, dan tinggi dalam martabat.
Lidah Sebagai Cermin Budi
Dalam adat Minangkabau, lisan bukan sekadar alat bicara, tetapi cerminan dari isi hati dan ketulusan budi. Itulah sebabnya, Sumbang Perkataan menjadi salah satu pilar penting dalam membentuk pribadi perempuan yang santun dan terhormat. Perempuan Minang diajarkan untuk berhati-hati dalam berkata bukan untuk membungkam ekspresi, tetapi agar setiap kata yang keluar tidak menyakiti, merendahkan, atau mempermalukan siapa pun.
Ajaran ini selaras dengan tuntunan Islam yang sangat menekankan penjagaan lisan. Firman Allah dalam Al Quran Surah Qaf ayat 18 menyatakan, “Tiada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (Mencatat).” Ini mengingatkan kita bahwa setiap ucapan akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah nantinya di yaumil akhir.
Adat melarang segala bentuk ucapan yang mengandung olok-olok (loga), cercaan, sindiran tajam, atau kata-kata kasar, baik di hadapan laki-laki bukan mahram maupun di tengah keluarga sendiri atupun orang lain. Bahkan, intonasi suara yang terlalu tinggi atau tawa yang tak terkendali di depan orang tua, mamak, saudara ipar, atau tetangga, dianggap melanggar adab dan dapat mencoreng marwah.
Lebih jauh, adat memandang bahwa menjaga lisan di tengah masyarakat dalam lingkungan kaum, kampung, atau suku adalah bentuk penghormatan terhadap jalinan sosial yang telah dijaga turun-temurun. Sebab, satu kata yang tidak pada tempatnya bisa mengoyak kain persaudaraan, memicu fitnah, dan menciptakan luka yang tak tampak namun membekas.
Pandangan yang Menjaga Harga Diri
Jika perkataan mencerminkan isi hati, maka pandangan mencerminkan kehormatan diri. Dalam Sumbang Penglihatan, seorang perempuan Minang diajarkan untuk tidak memandang dengan sembarangan. Ini bukan sekadar perkara sopan santun, tetapi tentang menjaga batas antara yang patut dan yang tak elok.
Islam mengajarkan prinsip Ghadlul bashar, menundukkan pandangan bagi laki-laki maupun perempuan. Dalam Al Quran Surah An-Nur ayat 30-31, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Ini menjadi landasan kuat dalam adat Minang, bahwa pandangan yang terlalu "lancang" dapat melukai nilai-nilai kesopanan dan membuka celah bagi fitnah.
Pandangan yang melewati batas seperti menatap berlebihan kepada lelaki, mengagumi suami orang lain, atau mencermati isi rumah orang tanpa izin adalah bentuk pelanggaran terhadap norma adat dan agama. Bahkan melihat dengan sengaja ke tempat pemandian laki-laki atau lokasi nongkrong mereka juga termasuk bagian dari Sumbang Penglihatan, karena hal itu berpotensi menimbulkan kesan tak patut dan menggugah syahwat.
Dalam pepatah Minang, dikatakan, “Malabihi ancak-ancak, mengurangi sio-sio” melampaui batas justru mengurangi harga diri. Maka setiap pandangan mesti diukur dengan norma “mungkin dan patut belaka,” yakni sejauh mana ia sesuai dengan kesantunan dalam agama dan kepatutan dalam adat.
Menjaga Lisan dan Pandangan, Menjaga Harga Diri
Pada akhirnya, Sumbang Perkataan dan Sumbang Penglihatan bukanlah beban yang membelenggu perempuan Minang, melainkan cahaya yang membimbing mereka agar tetap tegak dalam kehormatan dan bijak dalam bertindak. Ia adalah bentuk perlindungan terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, serta wujud nyata dari iman dan akal sehat.
Menerapkan dua sumbang ini berarti merawat warisan leluhur yang telah terbukti menjaga keseimbangan sosial dan spiritual selama berabad-abad. Lebih dari itu, ini adalah jalan menuju pribadi yang utuh dipandang mulia di mata manusia dan diridai oleh Allah.
Sebagaimana pepatah mengingatkan, “Lidah tak bertulang, tapi bisa menghancurkan. Mata adalah jendela jiwa, biarkan ia memancarkan kebaikan.” Mari terus merawat Sumbang Duo Baleh sebagai pelita dalam perjalanan kita di Ranah Minang, agar generasi kini dan nanti tetap berjalan dalam terang budi, keluhuran adat, dan rahmat Ilahi.