Bayangan tidak pernah berniat jahat. Ia lahir dari cahaya dan benda, dari keberadaan dan sinar. Ia tak punya kehendak, hanya ada karena hukum fisika memaksanya ada. Tapi di jalan pulang yang sepi, di bawah lampu jalan yang menggigil dan nyaris padam, bayangan pepohonan menjadi tersangka utama dari rasa cemas manusia. Mereka menjadi wajah gelap dari malam yang tak menjanjikan apa-apa selain ketidakpastian.
Pepohonan hanya berdiri. Daunnya mengigil bukan karena takut, tapi karena angin tak bisa diam. Cabangnya diam-diam menua, menampung waktu lebih banyak daripada manusia yang berlalu di bawahnya. Tapi begitu malam tiba, dan cahaya lampu menyentuh batangnya, bayangannya menjulur ke jalanan seperti tangan yang siap mencengkeram. Dan manusia mulai berpikir: “Apa itu?” Padahal itu hanya bayangan yang setia menemani, bahkan saat tak diminta.
Setiap malam, ribuan orang berjalan pulang dengan langkah cepat. Beberapa menyibukkan diri dengan ponsel, beberapa berpura-pura tegar. Tapi semua menyimpan satu hal yang sama: ketakutan akan sesuatu yang tidak jelas bentuknya. Dan bayangan pepohonan, tanpa sadar, menjadi wujud dari rasa takut itu. Padahal, bukankah kegelapan hanya menjadi mengerikan karena imajinasi manusia sendiri?
Bayangan tidak bisa memilih bentuk. Ia tak bisa memutuskan untuk terlihat jinak atau menakutkan. Tapi manusia, dengan segala kegelisahan dan trauma yang dibawanya, mulai menafsirkan bentuk itu sebagai ancaman. Dan semakin cepat manusia berjalan, semakin panjang bayangan mengejar. Seperti rasa takut yang tidak bisa kau tinggalkan hanya dengan berpindah tempat.
Jika bayangan bisa bicara, mungkin ia akan bertanya, “Mengapa kamu takut pada kami, padahal kamilah yang selalu ada saat kamu berjalan sendirian?”
Jika bayangan bisa menangis, mungkin tetesannya akan jatuh ke aspal sebagai embun dini hari.
Jika bayangan bisa memilih, ia mungkin akan memelukmu-bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menemani kecemasan yang tak pernah kamu ungkapkan pada siapa pun.
Pohon-pohon di jalan pulang tak pernah tahu bahwa mereka dianggap ancaman. Mereka tidak tahu bahwa bentuk mereka di tanah dianggap mengintai. Ia hanya mengikuti arah cahaya dan posisi batang, seperti penari yang bergerak sesuai instruksi tak terlihat. Tapi malam adalah waktu di mana manusia mudah lupa logika. Segalanya bisa menjadi monster jika batin sedang rapuh.
Cahaya jalan yang berkedip seringkali memperparah semuanya. Dalam kedipan itu, bayangan bergerak seolah bernapas. Kadang melompat ke kanan, kadang menyusut ke kiri. Dalam dunia di mana pikiran lelah dan hati gelisah, bayangan menjadi bahasa yang salah dipahami. Bayangan pepohonan-yang tak bisa bicara, tak bisa menjelaskan hanya bisa berdiri di sana, menjadi kambing hitam dari rasa takut yang tak punya nama.
Tapi mungkinkah rasa cemas itu datang bukan dari luar, melainkan dari dalam diri manusia sendiri? Mungkin bayangan pepohonan hanya cermin dari ketakutan kita yang terdalam tentang kehilangan, tentang ketidakpastian, tentang hal-hal yang tak bisa kita kendalikan. Dalam gelap, semuanya tampak lebih besar dari seharusnya, termasuk rasa takut itu sendiri.
Dan di malam-malam yang tak terlalu dingin, ketika pejalan kaki sedang jujur pada dirinya sendiri, kadang ada yang berhenti sejenak, memandang bayangan pepohonan, lalu tersenyum kecil. Ia tahu, itu hanya bayangan. Tapi di balik itu, ia juga tahu mungkin selama ini bukan kita yang takut pada bayangan, tapi bayanganlah yang lelah karena terus disalahkan.
Malam itu, entah mengapa, angin berhenti sebentar. Bayangan pepohonan tak lagi menari. Hanya diam. Tapi diamnya seperti seseorang yang sedang menahan tangis karena tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan bahwa ia tidak pernah ingin membuatmu takut.