• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Problematika Toilet dan Premanisme Pada Pariwisata Sumatera Barat

31 Mei 2023

616 kali dibaca

Problematika Toilet dan Premanisme Pada Pariwisata Sumatera Barat

Berbicara tentang pariwisata Sumatera Barat tentu kita masih berbangga. Provinsi ini menjadi salah satu destinasi pariwisata favorit di luar Pulau Jawa. Provinsi Sumatera Barat dianugerahi keindahan alam dan budaya yang melekat serta kuliner yang lezat. Potensi yang dimiliki ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan nusantara dan mancanegara yang berkunjung ke Sumatera Barat. Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi masyarakatnya, khususnya mata pencahariannya yang bergerak di bidang pariwisata.

Penulis pernah berkunjung ke beberapa destinasi wisata yang ada di daerah ini. Ternyata masih banyak yang dikelola kurang serius, baik oleh pemerintahnya maupun masyarakatnya. Penulis memfokuskan kepada 2 permasalahan utama yang laten terjadi di daerah ini.Toilet yang belum bersih dan premanisme. Sebenarnya banyak permasalahan yang perlu menjadi perhatian. Namun kedua hal ini sudah menjadi momok baik pelaku wisata dan terutama sekali bagi wisatawan. Kedua hal ini menjadi semacam "kesan pertama" bagi para wisatawan. Kita renungkan, apa yang terjadi jika kesan pertama tadi tidak sesuai dengan ekspektasi pengunjung? Rentetannya tentu akan berlanjut ke hal yang lain.Perasaan/mood mereka akan tergantung kepada kondisi tempat yang mereka kunjungi.

Pertama, toilet yang belum bersih. Penulis pernah melakukan survey kecil-kecilan kepada pengunjung destinasi wisata, dengan pertanyaan yang sederhana dan ringan. Ketika pengunjung/ wisatawan yang datang ke destinasi wisata kita, kemanakah mereka akan berkunjung terlebih dahulu? Rata-rata akan menjawab, "Toilet," "WC," dan hal lainnya yang bersifat "panggilan alam." Sudah menjadi naluri biologis manusia ketika menempuh perjalanan yang jauh ketika mereka berhenti maka destinasi pertama yang dituju adalah toilet. Toilet menjadi semacam "kesan pertama" bagi pengunjung. Tak heran, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga S.Uno memberikan perhatian khusus secara nasional tentang pentingnya toilet ini.

Toilet menjadi tantangan dan peluang bagi masyarakat sekitar destinasi wisata. Tantangan ketika banyaknya keluhan pengunjung terhadap kebersihan dan kenyamanan toilet. Kebutuhan toilet sering menjadi titik lemah dari rangkaian kegiatan pariwisata, baik yang dibagun khusus maupun yang menyatu dengan fasilitas lainnya. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah memberi perhatian khusus pada kelemahan sektor ini, mengingat pengaruhnya terasa pada reputasi dan image Pariwisata Indonesia dan persoalan toilet ini seungguhnya tidak bisa dianggap sepele. Toilet merupakan pencerminan budaya bangsa. Jadi toilet bukan hanya bersih, aman dan nyaman tetapi juga harus sehat dan kering seperti yang disukai oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Bukti keseriusan Kemenparekraf menyikapi persoalan sanitasi publik ini, mereka telah menjadikan toilet sebagai salah satu nominasi penghargaan dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI).

Peluang. Jika kita melihat toilet ini sebagai peluang, maka hal ini berkaitan dengan persoalan pendapatan ekonomi pelaku wisata. Bisnis toilet adalah terkadang dianggap bisnis yang dipandang sebelah mata. Padahal bisnis ini sangat menjanjikan, karena urusan ke toilet telah menjadi urusan wajib setiap orang. Peluang inilah yang perlu ditangkap pelaku wisata. Toilet mesti tertutup, terpisah berdasar jenis kelamin, kering dan bersih. Bahkan beberapa sudah memerhatikan kebersihan lantai, wangi, dan penerangan yang pas ditambah dengan senyum ramah cleaning service menjadi satu hal yang wajib di toilet saat ini.Orang tidak segan mengeluarkan biaya untuk sebuah kemewahan kecil ini. Sebuah sentuhan yang humanis yang tentunya bermotif bisnis.Bisa jadi akhirnya, keberadaan toilet bisa menjadi motif kuat pengunjung datang ke kembali destinasi wisata.

Permasalahan kedua adalah premanisme. Seperti yang penulis sampaikan sebelumnya, persoalan premanisme di destinasi wisata Sumatera Barat telah menjadi persoalan laten. Hampir di semua destinasi yang ada di kabupaten/ kota memiliki persoalan ini. Keluhan pengunjung banyak ditemui pada konten-konten viral di media sosial. Motif ekonomi yang didukung oleh perlindung oknum-oknum tertentu di destinasi wisata menjadikan premanisme ini tetap ada. Jika tidak diselesaikan maka akan berdampak buruk untuk pariwasata Sumatera Barat ini dalam waktu jangka panjang. Harus diakui Pemerintah daerah setempat tidak bisa berjuang sendiri memberantas premanisme ini, tidak bisa instan ataupun subjektif menilai kinerjanya.

Persoalan premanisme harus diselesaikan secara inklusif dan serius, yang melibatkan pemerintah, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat dan pelaku wisata. Tidak bisa mengandalkan pada salah satu pihak saja. Secara strategis dan kolaboratif persoalan ini bisa diselesaikan.  Di antaranya dengan terus melakukan sosialisasi, edukasi, dan ketegasan penegakkan hukum. Semuanya harus dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, dalam melakukan aktivitas wisata, wisatawan mempertimbangkan tingkat kebersihan dan keamanan dari tempat rekreasi yang mereka kunjungi. Akan lebih baik lagi apabila pengelola dan unit usaha yang ada di destinasi wisata bisa mendaftarkan lokasinya untuk mendapat sertifikat CHSE. Hal ini untuk lebih meyakinkan bahwa pengelolaan tempat wisata berusaha untuk menjamin kebersihan dan keamanan selama berwisata. Melakukan edukasi dan pelibatan masyarakat lokal dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan dan mendukung kegiatan kepariwisataan, sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Setidaknya ini bisa dijadikan implementasi bagi setiap daerah secara bertahap. Tentu kita tidak ingin reputasi pariwisata Sumatera Barat khususnya Pesisir Selatan menjadi terpuruk akibat kondisi laten ini. Dan kembali kepada masing-masing pihak untuk merenungi dan berbenah untuk memperbaikinya. Atau kita diamkan saja dan menjadikan paradigma "pariwisata membawa kesejahteraan masyarakat" sebagai hiasan pikiran saja.