“Siapa yang memegang data, maka dia akan memegang kendali pasar.”
Inilah yang terjadi pada dunia saat ini. Atas dasar inilah China melalui platform TikTok melakukan inovasi untuk mendistrupsi perekonomian dunia. Kita sama-sama mengetahui perkembangan ekonomi dunia yang masih lesu pasca pandemi Covid-19 yang lalu. Semua negara mengalami perlambatan pergerakan perekonomiannya. Semua negara melakukan pengetatan terhadap impor dan berusaha mengakselerasi ekspor produk-produk yang ada di negaranya. Aktivitas jual beli barang masih bergerak lambat, sedangkan produksi tetap berlangsung. Akibatnya , stok barang menumpuk.
Tren belanja online semakin melambung sejak adanya pandemi yang merebak. Penggunaan media online menjadi solusi atas keterbatasan mobilisasi yang diberlakukan demi memutus rantai penyebaran. Disisi lain, hal tersebut juga menjadi solusi atau alternatif bagi sebagian orang yang dirumahkan atau kehilangan pekerjaan karena adanya pandemi yang merebak. Kasus ini terjadi di berbagai negara seperti Amerika Serikat, China dan negara-negara di benua Eropa. Dalam hal ini kita fokus ke negara China yang mengambil peluang terhadap berubahnya perilaku masyarakat dunia dalam berbelanja. Melalui platform TikTok, China mengekspansi perekonomian dunia untuk memasarkan produk barangnya yang menumpuk di negaranya.
Melalui “Project S” yang di Indonesia lebih dikenal dengan fitur TikTok Shop. Fitur ini memungkinkan Tiktok untuk menjual produk-produknya sendiri, yang menciptakan potensi ancaman bagi para pedagang yang sebelumnya berjualan di platform ini. Dilansir dari CNBC Indonesia, Menteri Koperasi dan UKM (MeKopUKM) Teten Masduki menyinggung soal hadirnya Project S TikTok Shop. Pihaknya berharap Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mempercepat revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE). Dalam keterangan pers, Teten mengatakan revisi ini diperlukan agar bisnis UMKM tak terganggu oleh kecurigaan hadirnya Project S TikTok Shop. Kecurigaan tentang Project S TikTok Shop ini pertama kali mencuat di Inggris. Project S TikTok Shop ini dicurigai menjadi cara perusahaan untuk mengoleksi data produk yang laris-manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di China.
Ancaman yang ditimbulkan oleh Project S TikTokShop adalah persaingan yang tidak sehat karena Tiktok sebagai produsen dan penjual memiliki kendali atas produknya sendiri. Bahasa sederhananya, melalui TikTok, China berusaha memasarkan produk dalam negerinya keluar negaranya ke berbagai negara, seperti Indonesia. Tiktok memiliki keunggulan dalam memanipulasi konten yang populer dan mengetahui produk apa yang diminati oleh pasar di sebuah negara, yang dapat mempengaruhi preferensi konsumen. Algorithma ForYou Page (FYP) yang bisa membaca kebiasaan dari penggunanya dengan tujuan agar penggunanya tidak keluar dari platform ini. Sebuah inovasi jenius dalam bisnis dunia digital, media sosial dan e-commerce.
Ekonomi digital/ e-commerce Indonesia memang sangat berkembang pesat. Data pada tulisan sebelumnya menunjukkan hal tersebut. UMKM dan influencer/konten kreator berkembang dengan adanya TikTok, mereka bisa menjual/ dan mempromosikan produknya langsung ke konsumen, memotong jalur dan biaya distribusi. Konsumen juga dimanjakan oleh berbagai diskon dan kemudahan lainnya yang dibiayai lewat TikTok Shop. Di sini letak masalahnya.
Masalah pertama.Sebuah perusahaan masuk ke sebuah negara, tentunya harus melewati perizinan berusaha di negara tersebut. Izin TikTok pada awalnya seperti platform media sosial lainnya, berfokus pada konten, baik hiburan ataupun yang lainnya. Kemudian TikTok berkembang dengan fitur TikTok Shop yang menggabungkan konten dan e-commerce. Padahal izin operasional media sosial dan e-commerce juga berbeda. Perizinan sosial media diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, sementara izin e-commerce diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan. Penggabungan ini menguntungkan penggunanya Pengguna bisa memanfaatkan ini untuk berbisnis dan promosinya (diskon, monetasi) dibiayai oleh TikTok, meguntungkan UMKM. Namun ini juga dilakukan kepada produk yang diluar UMKM, katakanlah produk-produk dari negara China. Mereka meniru produk dalam negeri tetapi produksinya di China dan dijual dengan harga yang sangat murah. Bisa membunuh UMKM. Strategi yang dilakukan Tiktok ini disebut sebagai predatory pricing.
Masalah kedua. Influencer/ konten kreator bisa menjual produk yang bukan miliknya. Dengan menggabungkan konten dan commerce. Seorang influencer/konten kreator berpotensi melakukan “false advertising” yaitu membuat iklan yang terbentuk dari kumpulan informasi dan petunjuk yang salah. Iklan palsu ini bisa membahayakan bagi pelanggan, akan tetapi, bisa menjadi lebih fatal bagi bisnis perusahaan. Umumnya, hal ini terjadi karena pasar dan kompetisi yang semakin ketat, sedangkan produk atau layanan yang ditawarkan tidak mampu bersaing.
Masalah ketiga. Barang/ produk yang dipasarkan belum mendapatkan izin dari pihak terkait. Saat ini lazim terjadi, misal pada produk perawatan tubuh, makanan dan lain sebagainya. Dampaknya, selain pemasukan negara tidak ada melalui pajak, permasalahan lainnya adalah lemahnya perlindungan kepada konsumen. Ini jelas membahayakan semua pihak.
Ekonomi digital itu dipengaruhi oleh 4 pilar, yakni keuangan, mobilitas, e-commerce dan media-periklanan. TikTok memiliki 2 pilar yang kuat. E-commerce dan media-periklanan. Mereka mengetahui data kebiasaan penggunanya. Lebih kurang 109,9 juta netizen di Indonesia telah memiliki akun TikTok. Sedangkan pemerintah 1 pilar yakni keuangan. Di sektor keuangan inilah sebenarnya Pemerintah bisa mengelolanya dengan mengeluarkan regulasi-regulasi yang melindungi produk-produk UMKM dan konsumen. Jika tidak diatur dengan baik, pasar Indonesia dapat dibanjiri oleh produk impor dengan harga yang sangat murah, yang akan menyulitkan para pelaku UMKM untuk bersaing.
Sebenarnya TikTok Shop adalah sebuah inovasi bisnis yang menguntungkan UMKM dan semua pihak yang menggunakan platform tersebut untuk bisnis. Memisahkan media sosial dan e-commerce akan menghambat inovasi serta merugikan pedagang dan konsumen Indonesia. Untuk itu perlu diatur dengan regulasi yang jelas untuk melindungi pasar Indonesia dan menjaga kelangsungan para pelaku UMKM agar tetap bisa bersaing secara adil. UMKM menyerap sekitar 97% lapangan kerja dan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 60%. Jika UMKM bermasalah, maka ekonomi nasional akan terganggu. Dengan langkah yang tepat, pasar digital Indonesia dapat tumbuh secara sehat dan berkelanjutan, dengan memberikan kesempatan bagi para pelaku usaha lokal untuk terus berkembang.